Etika dan Dharma

Kemarin saya bersama seorang teman menghadiri kelas Dharma yang diselenggarakan di sebuah vihara (bukan aliran maitreya). Sebenarnya untuk mencari dharma sih tidak perlu bagi saya untuk sampai ke sana. Namun karena ketulusan dari teman-teman yang mengundang kita, akhirnya secara rela menjadwalakan waktu ditengah kesibukan untuk hadir di sana. Terpikir juga untuk ingin tahu seperti apa kelas dharma yang dilaksanakan disana.
Memasuki gerbang Vihara. Terlihat pohon rindang dan taman yang asri, sesuatu yang cukup menyejukan hati ditangah suasana panas tengah hari. Kami disambut oleh panitia yang juga adalah teman kita (sesama buddhis) di beragai kegiatan organisasi dan forum keagamaan.
Memasuki Dharma Sala tempat sedang berlangsungnya Dharma Desana (ceramah), terdapat rupang Buddha dalam posisi duduk. Saya perkirakan sekitar dua setengah meter tingginya. Sungguh suatu ruangan yang sangat nyaman dan cukup lapang. Dilengkapi perangkat audio system yang lumayan. Terdengar suara Bapak Cornelis Wowor mengema dengan ciri khas penyampaian yang ringan dan tajam membahas topik "kelahiran kembali".
Secara umum kelas berlangsung dengan baik. Para pendengar juga terdengar antusias menagapi. Apalagi Pak Wowor sempat memberikan berbagai ilustrasi dan bukti keberadaan kehidupan lain selain di bumi.
Mungkin dikarenakan terbiasa mengikuti kelas Dharma di berbagai tempat. Saya merasa cara dan kebiasaan duduk kebanyakan peserta kelas jauh dari "etis". Berhubung kita berada di Dharma Sala, di hadapan rupang Buddha dan mendengarkan Dharma. Maka sikap duduk sesukanya tentu kurang etis. Mungkin karena kebiasaan dan pola pengajaran dharma kita selama ini terlalu terfokus pada "pengetahuan" dan praktek dharma yang cukup besar, yang langsung terlihat dan terasakan saja. Misalnya lewat "fang sheng" (melepas makhluk), berdana dalam pembangunan Vihara atau pun Pattidana (pelimpahan jasa).
Sesuatu yang kadang lupa kita praktekkan adalah pengembangan diri "kedalam" batin. Lewat tulisan ini saya mencoba berbagi sedikit yang sempat saya ketahui.

Saya selalu merasa salut ketika melihat orang yang dapat duduk tegak tanpa bersandar pada sandaran kursi. Terutama jika posisi ini dapat dipertahankan dalam waktu cukup lama. Biasanya ada yang mampu melakukannya. Bahkan ketika makan, dengan keanggunan tangan kiri mengangkat mangkok dan tangan kanan mengangkat sumpit. Sungguh memancarkan kewibawaan dan disipin yang tinggi. Nilai estetika dan keanggunan yang mempesona. Ketika kita disuruh untuk melakukan hal yang sama, umumnya mendapat penolakan dengan banyak alasan. Tulang punggung sakit, tempat duduk panas, tidak nyaman dan sebagainya. Lalu apakah mereka yang mampu duduk dengan tegak tidak merasakan hal demikian?
Tentunya kita yang sering mendengarkan dharma tahu bahwa "saya adalah tuan atas hidup saya". Kemudian merasa tidak ingin dikendalikan oleh orang lain. Karena kita adalah tuan. Namun sesungguhnya apakah benar-benar begitu? dari pengamalan etika duduk ini saja dapat dibuktikan. Kebanyakan dari kita menjadi "budak" dari badan raga kita. Pesuruh-pesuruh dari napsu keinginan kita, hasrat untuk teledor dan memanjakan diri dengan kenyamanan raga.
Namun juga bukan berarti kita mesti duduk tegak terlalu kaku dan menyiksa diri. Saya pernah melihat beberapa teman mempraktekkan "etika duduk" ini secara berlebihan. Beberapa bahkan tidak bergeming ketika nyamuk menusukkan jarum suntiknya diatas kulit mulusnya. Namun biasanya yang ekstrem begitu hanya bertahan beberapa saat.
Jika kebiasaan duduk, berdiri dan berjalan telah dilatih sedemikian rupa sesuai etika dan sesuai dharma (tidak ekstrem/berlebihan). Sungguh sangat indah. Bahkan melihatnya pun suatu kebahagiaan. Tidak banyak orang yang telah menjadikan ini sebagai kebiasaan yang alami dalam prilaku hidupnya. Namun dipastikan bahwa yang melakukannya adalah orang yang benar-benar tuan atas raganya.
Saya berharap suatu saat saya memiliki sebab jodoh untuk menghadiri kelas dharma/ceramah dimana setiap pendengar duduk dengan "baik". Dimanapun itu, jika ini dilakukan. Maka saya akan merasakan bahwa "Dharma" (kebenaran) dihargai sebagaimana semestinya.
Jadi kelas Dharma bukan sekedar menambah pengetahuan dharma pendengar. Ada praktek Dharma yang jauh lebih tinggi daripada sekedar apa yang didengarkan.

Semoga Kewibawaan Buddha Dharma bertahan laksa masa
File Under: